Islam tidak berhenti pada mihrab dan sajadah. Ia adalah agama yang menuntun manusia bukan hanya untuk sujud dengan khusyuk, tetapi juga untuk menegakkan keadilan sosial. Kesalehan dalam Islam bukan hanya vertical antara hamba dan Tuhannya tetapi juga horizontal antara manusia dan sesamanya. Di sinilah zakat menemukan maknanya yang sejati: ibadah spiritual yang berfungsi sosial, ritual yang bermuara pada kesejahteraan.
Tidak kurang dari dua puluh delapan kali Al-Qur’an menggandengkan perintah shalat dengan zakat. Ini bukan kebetulan redaksional, melainkan pesan teologis yang mendalam: bahwa shalat yang benar harus melahirkan kepedulian, dan zakat yang sah harus berakar dari kesadaran spiritual. Abu Bakar ra. bahkan menyebut zakat sebagai ukhtus shalah saudari shalat karena keduanya ibarat dua sayap kesempurnaan iman.
Prof. Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa zakat memiliki fungsi syar’i yang agung: menciptakan keseimbangan sosial (social equilibrium) dan keseimbangan ekonomi (economic equilibrium). Dalam pandangan ekonomi Islam, zakat adalah “mesin moral” yang menyalurkan kekayaan agar tidak berputar di kalangan orang kaya saja. Lebih jauh, zakat mampu menjawab kebuntuan ideologis dua sistem besar dunia modern: kapitalisme yang rakus dan sosialisme yang kaku.
Kesadaran ini mulai diterjemahkan secara konkret di Indonesia melalui pembentukan lembaga-lembaga resmi seperti BAZNAS. Di Kabupaten Bondowoso, keseriusan ini ditandai dengan lahirnya Perda Nomor 11 Tahun 2009 yang menata pengelolaan zakat secara sistemik. Pemerintah daerah memahami bahwa zakat bukan sekadar kewajiban agama, tetapi juga instrumen pembangunan daerah yang strategis.
Namun sebagaimana dikatakan banyak ahli manajemen sosial, “lembaga bukan apa-apa tanpa manusia yang amanah di dalamnya.” Kepercayaan publik menjadi modal utama bagi keberhasilan zakat. Selama amil dipercaya, muzakki akan menyalurkan hartanya tanpa ragu. Bondowoso patut bersyukur memiliki jajaran pimpinan BAZNAS yang berintegritas tinggi dari KH. Imam Barmawi Burhan hingga KH. Achmadi, M.Pd.I yang memimpin lembaga ini dengan nilai keikhlasan dan akuntabilitas.
Data 2015 menunjukkan capaian zakat mencapai Rp1,48 miliar, disertai berbagai kegiatan sosial seperti santunan untuk seribu anak yatim di GOR Pelita (2024) dan di AIC At-Taqwa (2025). Namun jika dibandingkan dengan potensi riil, angka ini baru setetes dari lautan. Dua sektor besar masih belum tergarap maksimal: zakat ASN dan zakat pertanian masyarakat.
Dengan jumlah ASN sekitar 14.000 orang, potensi zakat yang bisa dikumpulkan sesungguhnya luar biasa. Sayangnya, belum semua ASN konsisten menunaikannya secara rutin. Dari sekian banyak OPD, hanya sebagian kecil yang aktif menyetorkan zakat melalui Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Kantor Kementerian Agama Bondowoso menjadi pengecualian membanggakan, karena terus konsisten dan bahkan menandatangani kerja sama resmi dengan BAZNAS untuk penguatan pengumpulan dan distribusi zakat.
Sementara itu, potensi zakat pertanian masyarakat juga belum tergarap optimal. Banyak petani yang belum memahami kewajiban zakat hasil panen atau tidak memiliki saluran distribusi yang jelas. Padahal, jika dikelola dengan pendekatan produktif, zakat pertanian dapat menjadi modal hidup bagi para mustahiq.
Inilah arah baru yang perlu ditegaskan: zakat tidak boleh berhenti pada konsumsi, tetapi harus bergerak menuju produktivitas. Zakat produktif bukan hanya memberi ikan, tetapi memberi kail, dan bahkan mengajarkan cara menangkap ikan di lautan modern.
Program pembinaan kelompok mustahiq harus dimulai dari identifikasi yang cermat: usia produktif, minat usaha, dan kemampuan dasar. Mereka yang tertarik bertani diarahkan pada kelompok usaha tani; yang berminat beternak difasilitasi dengan pelatihan peternakan. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci: BAZNAS, Kemenag, dinas teknis, dan ormas-ormas besar seperti NU, Muhammadiyah, dan Al Khairiyah.
Langkah strategis seperti Kampung Zakat di Kecamatan Wonosari menjadi contoh nyata zakat produktif di Bondowoso. Program ini tidak hanya mengalirkan bantuan, tetapi juga menumbuhkan mental kewirausahaan, membangun etos kerja, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab kolektif.
Namun tantangan terbesar bukan pada modal atau sistem, melainkan pada mentalitas. Banyak warga yang masih terjerat dalam kemiskinan kultural yakni pandangan keliru bahwa kemiskinan adalah takdir yang tak bisa diubah. Di sinilah dakwah sosial menjadi penting. Ormas keagamaan dan penyuluh agama Islam harus hadir bukan hanya untuk mengajar ayat, tetapi juga menyalakan harapan.
Pembinaan spiritual dan mental dapat diintegrasikan dalam forum-forum lokal seperti majelis taklim, tahlilan, yasinan, sholawatan, dan dibaan ruang yang hidup dalam denyut budaya Bondowoso. Ketika nilai spiritual bertemu dengan visi ekonomi produktif, lahirlah masyarakat yang mandiri, bermartabat, dan berdaya saing.
Zakat sejatinya adalah revolusi sosial yang tenang. Ia mengalir dari hati orang beriman menuju kebangkitan umat. Dari sedekah tangan kanan, lahirlah kekuatan tangan kerja. Dari empati, tumbuh ekonomi yang adil. Jika zakat dikelola dengan visi, amanah, dan ilmu, maka Bondowoso tidak hanya akan dikenal sebagai kota santri, tetapi juga sebagai model daerah Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, negeri yang baik, makmur, dan dirahmati Allah.
Oleh: H. Zainuddin, S.Ag., M.M. (Wakil Ketua PCNU Bondowoso dan Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kabupaten Bondowoso)