Dalam kehidupan modern, utang telah menjadi fenomena sosial yang nyaris dianggap lumrah. Banyak orang berutang bukan karena kebutuhan pokok, melainkan karena dorongan gaya hidup konsumtif dan keinginan untuk terlihat setara dengan orang lain. Menurut Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, ekonom syariah UIN Saizu Purwokerto, kecenderungan ini telah menimbulkan krisis moral dan spiritual di tengah masyarakat Muslim.
“Utang pada dasarnya bukan hal yang haram, tetapi ketika menjadi budaya dan gaya hidup, maka ia melahirkan ketergantungan ekonomi dan bahkan menjerumuskan ke riba,” jelas Dr. Ash-Shiddiqy.
Dalam kajian ekonomi Islam, riba adalah bentuk ketidakadilan yang dilarang keras. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]:275:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat ini menjadi batas tegas antara utang syar’i yang berlandaskan tolong-menolong (qard hasan) dengan utang ribawi yang mengeksploitasi pihak lemah melalui bunga dan denda keterlambatan.
Table of contents [Show]
Krisis Moral Akibat Utang
Dr. Ash-Shiddiqy menegaskan bahwa dampak negatif utang bukan hanya pada ekonomi, tetapi juga pada moral. Ia mengutip sabda Rasulullah ﷺ:
“Sesungguhnya jika seseorang terlilit utang, ia akan berbicara lalu berdusta, dan berjanji lalu mengingkari.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
“Utang yang tidak terkendali membuat seseorang kehilangan kejujuran dan kepercayaan,” ujarnya. Dalam konteks kontemporer, hal ini terlihat pada maraknya fenomena pinjaman online berbunga tinggi, utang kartu kredit, dan gaya hidup kredit instan yang menjerat masyarakat menengah ke bawah.
Ketika seseorang tidak mampu membayar, ia cenderung berbohong atau menghindar. Bahkan dalam kasus ekstrem, hubungan sosial bisa hancur, dan tekanan mental menyebabkan stres atau depresi. “Utang bukan hanya beban ekonomi, tetapi juga beban psikologis,” tegasnya.
Rasulullah ﷺ menggambarkan kondisi ini dalam sabdanya:
“Berhati-hatilah dalam berutang, karena sesungguhnya utang itu kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari.”
(HR. Baihaqi)
Dr. Ash-Shiddiqy menjelaskan, “Utang membuat orang kehilangan kebebasan dan martabatnya. Ia bekerja keras, namun hasilnya habis untuk melunasi utang. Inilah bentuk kehinaan ekonomi yang harus dihindari umat Islam.”
Bahaya Utang di Akhirat
Dampak kedua dari utang, kata Dr. Ash-Shiddiqy, jauh lebih berat karena berkaitan dengan kehidupan akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Diampuni semua dosa orang yang mati syahid kecuali utang.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan betapa seriusnya tanggung jawab seseorang terhadap utangnya. “Bahkan mati syahid yang merupakan puncak kemuliaan tidak bisa menghapus dosa akibat utang yang belum dibayar,” jelasnya.
Menurut Dr. Ash-Shiddiqy, ini karena utang termasuk dalam hak sesama manusia (ḥuqūq al-‘ibād), yang tidak dapat ditebus dengan ibadah. “Allah Maha Pengampun terhadap dosa-dosa kepada-Nya, tetapi tidak terhadap dosa antar manusia hingga hak itu dikembalikan,” tambahnya.
Utang dan Riba: Dua Wajah Ketergantungan
Dalam pandangan ekonomi syariah, utang yang dibangun di atas bunga bukanlah solusi keuangan, melainkan bentuk eksploitasi modern. Banyak masyarakat terjebak dalam lingkaran riba yang disamarkan dalam istilah biaya administrasi, bunga ringan, atau cicilan fleksibel.
Dr. Ash-Shiddiqy menilai bahwa fenomena ini harus direspons dengan memperkuat literasi keuangan syariah. “Masyarakat perlu paham bahwa riba sekecil apa pun tetap haram. Nabi SAW melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya, dan dua saksinya—semuanya sama dalam dosa,” ujarnya mengutip HR. Muslim.
Sebagai alternatif, ia mendorong pengembangan sistem keuangan syariah yang berbasis keadilan dan kerja sama:
1. Qard Hasan – Pinjaman tanpa bunga untuk kebutuhan mendesak, dengan niat tolong-menolong.
2. Mudharabah dan Musyarakah – Kerjasama modal dan tenaga berbasis bagi hasil, bukan bunga tetap.
3. Zakat, Infaq, dan Wakaf Produktif – Instrumen sosial yang mampu mengurangi kesenjangan ekonomi.
4. Etika Konsumsi Islami (Al-Qana‘ah) – Gaya hidup cukup, bukan berlebihan; membeli sesuai kebutuhan, bukan keinginan.
“Jika umat Islam menanamkan nilai qana‘ah dan kejujuran, maka budaya riba akan hilang dengan sendirinya,” tegas Dr. Ash-Shiddiqy.
Solusi: Hidup Sederhana dan Mandiri
Menurutnya, akar masalah utang sering kali bukan pada pendapatan yang kecil, melainkan pengeluaran yang tidak terkendali. “Islam mengajarkan keseimbangan, bukan kemewahan,” katanya. Ia mengutip doa Nabi ﷺ:
“Ya Allah, lindungilah aku dari lilitan utang dan kekuasaan manusia atas diriku.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Doa ini mengandung makna kebebasan spiritual dan ekonomi. Orang yang berutang secara berlebihan sebenarnya telah menyerahkan kedaulatannya kepada pihak lain. Dalam bahasa modern, ia kehilangan kemandirian finansial (financial independence).
Dr. Ash-Shiddiqy menegaskan bahwa Islam menuntun umatnya untuk hidup sederhana namun produktif. Orang kaya hendaknya tidak menghamburkan hartanya, sementara orang miskin jangan meniru gaya hidup orang kaya. “Miliki sesuatu karena fungsinya, bukan karena gengsinya,” ujarnya mengutip prinsip fiqh al-hajah (pemenuhan kebutuhan).
Penutup: Kembali pada Prinsip Syariah
Menjauhi utang bukan berarti menolak kemajuan. Justru dengan menghindari riba dan membangun sistem ekonomi syariah yang sehat, umat Islam bisa menjadi masyarakat yang berdaulat secara finansial dan bermartabat secara spiritual.
“Utang boleh, tetapi jangan sampai menjadi budaya. Ekonomi syariah bukan hanya soal transaksi halal, tetapi juga soal menjaga kehormatan diri dan keadilan sosial,” pungkas Dr. Ash-Shiddiqy.
Ia menutup dengan doa Rasulullah ﷺ:
“Ya Allah, cukupkan aku dengan rezeki-Mu yang halal dari yang haram, dan cukupkan aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu.”
(HR. Tirmidzi)
Dengan menanamkan nilai kejujuran, kesederhanaan, dan tanggung jawab, umat Islam tidak hanya terbebas dari utang, tetapi juga terhindar dari sistem riba yang menindas, menuju kehidupan yang penuh berkah — di dunia dan di akhirat. []