Kalau dengar kata pesantren, banyak orang langsung kebayang santri pakai sarung, ngaji kitab kuning, bangun subuh sebelum adzan, dan antre mandi pakai ember estafet. Vibes-nya adem, religius, dan penuh keberkahan. Tapi, jujur aja nih, banyak juga yang masih nganggep pesantren itu kuno, gaptek, dan agak “anti ngobrolin hal-hal sensitif”, terutama soal kesehatan reproduksi. Padahal, zaman udah serba digital, informasi berseliweran kayak iklan skincare di TikTok. Mau tutup mata pun tetep kecolek juga.
Nah, justru di era Gen-Z dan Alpha yang makin random ini, pesantren tuh harus tampil kece, responsif, dan inklusif. Biar santri nggak cuma paham agama, tapi juga siap mental, fisik, dan sosial buat hadapi dunia yang penuh plot twist. Salah satunya lewat edukasi kesehatan reproduksi (kespro) yang sehat, santun, dan syar’i.
“Kespro di Pesantren? Emang Pantes?”
Pertanyaan kayak gitu masih sering muncul, bahkan dari kalangan pesantren sendiri. Banyak yang masih nganggep bahasan kespro itu tabu, “nggak pantas”, “nanti dibilang cabul”, atau takut dikira ngajarin yang aneh-aneh. Padahal, kespro bukan cuma soal seks aja, lho. Kespro itu luas banget—meliputi kesehatan fisik, mental, tumbuh kembang, sampai adab menjaga diri sebagai manusia yang dimuliakan Allah.
Di Qur’an dan Hadis pun banyak pesan tentang menjaga kehormatan, kebersihan, dan kesehatan tubuh. Jadi kalau dipikir-pikir, yang “nggak pantas” itu bukan ngajarin kespro, tapi membiarkan santri nggak tahu apa-apa lalu belajar dari sumber yang salah. Setuju?
Kenapa Pesantren Harus Ngegas Jadi Inklusif?
Karena sekarang tantangannya udah beda, bestie! Santri dan remaja hari ini hidup di dunia yang hyper-connected. Buka HP bentar aja bisa kecemplung ke konten yang nggak pake sensor. Mau cari info tentang tubuh sendiri? Banyak yang akhirnya gugling tanpa filter, nanya ke teman yang sama-sama nggak paham, atau malah percaya pada mitos receh ala “katanya”.
Pesantren yang inklusif itu bukan yang bebas tanpa batas, ya. Bukan juga yang semuanya boleh asal happyt-happy. Tapi pesantren yang:
✨ Terbuka pada ilmu yang bermanfaat
✨ Menjaga adab & nilai Islami
✨ Memberi ruang dialog yang sehat, bukan judge-mental
Kalau santri dapat ilmu kespro yang benar, dengan perspektif Islam dan akhlak, otomatis mereka lebih paham cara menjaga diri, menghargai tubuh, dan saling menghormati—tanpa rasa malu berlebihan.
Santri Melek Kespro Itu Keren, Bukan Kebablasan
Kadang ada yang khawatir:
“Kalau santri diajarin kespro, nanti malah kepo macam-macam!”
Padahal, penelitian justru menunjukkan pengetahuan kespro yang benar menurunkan risiko penyimpangan dan kekerasan seksual. Analogi gampangnya gini: kalau kamu diajarin cara nyetir yang benar, kemungkinan kamu nabrak lebih kecil daripada kalau kamu belajar dari konten random TikTok kan?
Pesantren punya modal keren buat menjadi pusat edukasi kespro yang sehat, karena:
• Ada nilai agama sebagai pondasi
• Ada adab dan akhlak sebagai pagar
• Ada para kiai/nyai/ustaz/ustazah sebagai role model
Bayangin kalau kespro diajarin dengan cara yang adem, sopan, dan nyambung dengan Islam:
langsung auto halal, auto berkah, auto nambah pahala self-care.
Pesantren dari Dulu Sudah Keren, Tinggal Upgrade
Fun fact: Pesantren itu bukan lembaga “ketinggalan zaman”. Justru sejak dulu, pesantren udah jadi basecamp perubahan sosial. Dari perjuangan kemerdekaan, gerakan literasi, sampai ngawal moderasi beragama—pesantren selalu ikut andil. Jadi kalau sekarang pesantren ngegas jadi pionir edukasi kespro Islami?
Itu bukan hal baru. Itu justru lanjutan dari tradisi keren yang udah ada.
Sekarang zamannya upgrade, bukan menghindar. Karena kalau pesantren nggak ikut nyiapin santri hadapi realita dunia, nanti santri kagetnya bisa akut.
Contoh Nyata Pesantren Inklusif & Asyik
Bayangkan suasana kayak gini:
•Kajian fiqh al-badaniyyah tentang tubuh & aurat
•Sesi sharing bareng konselor atau alumni kesehatan
•Materi kespro dikaitkan dengan akhlak, adab, dan syariat
•Santri bisa curhat aman tanpa takut di-judge
Trust me, kalau dikemas asyik dan relatable, santri bakal merasa dihargai dan lebih percaya pada pesantren daripada ke Google yang kadang suka halu.
Pesantren Inklusif = Pesantren Rahmatan lil ‘Alamin
Islam tuh agama yang penuh kasih, bukan penuh takut. Nabi SAW mengajarkan pendidikan itu harus tadarruj alias bertahap, lembut, dan sesuai usia serta kemampuan. Jadi kalau edukasi kespro diberikan dengan hikmah dan adab, itu justru wujud Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Bikin adem, bukan bikin deg-degan.
Akhir Kata: Inklusif Itu Bukan Kehilangan Identitas, Tapi Justru Menguatkan
Pesantren yang inklusif bukan pesantren yang kebarat-baratan, bukan pula pesantren yang ngikutin tren biar terlihat gaul. Inklusif itu artinya pesantren merangkul, bukan memukul; membimbing, bukan menghakimi; menguatkan, bukan menakut-nakuti.
Kalau pesantren berani buka ruang edukasi kespro yang sehat, maka pesantren sedang mempersiapkan generasi santri yang:
✅ Berilmu & beradab
✅ Paham agama dan realita
✅ Siap jadi pemimpin masa depan
Karena dari pesantrenlah cahaya ilmu itu menyebar. Dan sekarang, saatnya cahaya itu menerangi juga bidang kesehatan reproduksi—agar lebih manusiawi, lebih Islami, dan lebih membumi. []